《LOVENEMIES [END]》66 - Pameran Kuil

Advertisement

Setelah Bae Sooji akhirnya selesai menjelaskan insiden itu, Kepala Sekolah Bae memiliki beberapa keraguan baru.

"Siapa yang mengirim foto? Dan apa motif mereka?"

"Ayah akhirnya mencapai titik permasalahannya. Berdasarkan analisis mendalamku, orang yang mengirim foto-foto ini juga pasti disesatkan oleh orang yang menyebarkan rumor ini. Dengan mengirimkan foto-foto ini kepada ayah, dia ingin membuat ayah marah dan meminta ayah untuk memisahkan Kim Myungsoo dan aku - tentu saja, sama sekali tidak ada hubungan apa-apa di antara kami berdua."

Kepala Sekolah Bae merasa bahwa anak-anak zaman sekarang cukup licik. "Siapa yang ingin memisahkan kalian berdua?" Setelah menanyakan hal ini, dia menambahkan dalam hatinya, aku benar-benar harus berterima kasih padanya.

"Bagaimana aku tahu." Sooji mengangkat bahu dengan putus asa. "Ada banyak orang yang menyukaiku."

"Kau tahu semua orang yang menyukaimu?"

"Bukan aku. Kim Jongin yang memberitahuku. "

"Kim Jongin juga menyukaimu?"

"Dia? Tidak, dia seperti gadis mungil yang suka menempel pada orang. Aku adalah burung besar."

"Ada-ada saja."

Kepala Sekolah Bae merasa seperti ada bola wol yang sudah dimasukkan ke dalam otaknya setelah mendengarkan Sooji. Dia mengumpulkan dan menumpuk foto-foto itu dengan rapi sebelum mengembalikannya ke meja kopi. Dia menyimpulkan,"Ayah percaya padamu. Tetapi kau tidak sepenuhnya tidak bersalah dalam hal ini. Lain kali, kau tidak boleh main-main dengan anak laki-laki di depan umum. Kau bahkan tidak tahu kapan seseorang akan memanfaatkanmu. Kau adalah seorang gadis."

"Jadi memangnya kenapa kalau aku seorang gadis?" Sooji sedikit tidak puas. "Itu selalu menjadi kesalahan seorang gadis saat sesuatu terjadi."

"Ayah tidak menyalahkanmu. Sederhananya, orang-orang mengukur anak gadis sebagai standar yang lebih tinggi. Kapan pun terjadi sesuatu, selalu anak gadis yang disalahkan. Biarkan ayah bertanya padamu, saat foto-foto ini dirilis, semua orang mengutukmu, 'kan?" Saat Kepala Sekolah Bae berbicara, dia mulai marah lagi. Kali ini, dia sangat marah pada kenyataan bahwa putrinya yang berharga telah menghadapi kuktukan yang tidak adil.

"Baiklah, semuanya tepat seperti yang ayah katakan." Melihat ayahnya frustasi, Sooji beringsut sedikit lebih dekat dan mencoba menenangkannya,"Jangan marah. Aku punya ide bagus."

"Oh?"

"Bagaimana kalau aku berhasil mendapatkan hati Kim Myungsoo dan membuat orang-orang itu semakin marah?"

"Jangan berani-beraninya kau!"

Melihat penolakan ayahnya, Sooji menyelinap ke gelanggang es dengan muram.

Malam itu, dia menerima pesan dari Choi Minho. Hari berikutnya adalah hari ulang tahun Minho dan dia mengundang teman-teman sekelasnya untuk makan malam. Dia bertanya pada Sooji apa dia ingin datang atau tidak.

Sooji mengiriminya uang paket merah dan menjawab: Aku tidak akan pergi. Kalian bersenang-senanglah. Selamat ulang tahun!

Minho tidak menerima paket merahnya dan malah mengiriminya uang paket merahnya sendiri.

Biaya agar kau datang. Apakah ini akan berhasil?

Belum sempat Sooji membalas pesan Minho, Minho sudah terlebih dahulu mengirim pesan baru lagi padaya.

Bantu aku bertanya pada Kim Jongin apa dia juga ingin datang atau tidak.

Sooji adalah orang yang tunduk pada ajakan lembut dan tidak terintimidasi. Dia tidak dapat terus menolak Minho dengan sengaja setelah pria itu mengundangnya dengan sopan. Dia bertanya apa Son Naeun akan pergi dan setelah tahu bahwa gadis itu tidak akan ada di sana, Sooji menyetujui permintaannya. Karena dia sudah melepaskan masa lalu, dia sekarang bisa menghadapi Minho dengan sikap yang biasa saja dan acuh tak acuh.

Orang-orang yang diundang Minho untuk ulang tahunnya adalah teman sekelas yang dekat dengannya di tahun pertama sekolah menengah. Sooji pergi dengan Jongin. Keduanya malu pergi dengan tangan kosong dan menyiapkan hadiah. Sooji jauh lebih nyaman karena Naeun tidak ada di sana. Dia mengenang masa lalu dengan semua orang. Masa sekolah menengah adalah masa yang aneh. Meskipun hidup pada waktu itu membosankan dan monoton, mereka memiliki ingatan yang sangat jelas tentang apa yang terjadi. Setiap hari adalah hal biasa, namun begitu tertanam dalam pikiran mereka, hal itu mampu membangkitkan nostalgia yang mendalam saat seseorang melihat ke belakang.

Advertisement

"Mungkin karena semuanya tampak rumit," pikir Sooji melankolis. Ayahnya berkata bahwa dengan bertambahnya usia, hal itu akan mencipratkan warna-warna rumit pada papan tulis kosong, itulah kehidupan.

Jika seperti itulah keadaan dan waktu bisa bergerak maju, maka masa kecil seseorang adalah periode yang paling tidak bersalah dalam hidupnya.

Berpikir kembali ke masa kecilnya, pikiran Sooji dipenuhi dengan Myungsoo.

Oh, berhentilah memikirkannya!

Sooji menggosok kepalanya.

"Bos, apa kau ingin alkohol?" Jongin tiba-tiba bertanya.

"Ah? Tentu, aku akan mengambilnya sendiri." Sooji meraih botol bir saat dia menjawabnya.

Ada pandangan yang berarti di mata Jongin. Dia mengambil cangkirnya dan mengisinya sampai penuh.

Setelah melakukannya, dia diam-diam mengirim pesan teks ke Kim Myungsoo.

Bosku sedang minum sekarang. Ayo jemput dia nanti!

Oke. Tapi, apa alasanku?

Ada hal luar biasa yang disebut dengan 'kebetulan'. Apa kau pernah mendengarnya sebelumnya?

Ya...

Jarang sekali Jongin memiliki kesempatan untuk memberi ceramah pada Myungsoo dan kesempatan itu membuatnya gembira. Dia menarik napas panjang. Tiba-tiba dia berharap Myungsoo tidak akan bisa memenangkan bosnya dengan cepat.

Sooji sebenarnya sangat memperhatikan seberapa banyak dia minum. Dia tidak berani minum banyak karena dia khawatir ayahnya akan mengomel lagi. Masih ada waktu sebelum sekolah dimulai dan ayah tersayangnya sudah bosan di rumah. Istrinya juga jarang ada di rumah dan rasa kesepiannya membuatnya mampu membuat gunung dari sarang tikus tanah karena terlalu banyak meneliti masalah kecil.

Akibatnya, Sooji adalah orang yang minum paling sedikit pada akhirnya. Bahkan Minho juga mabuk, wajahnya memerah dan matanya redup karena mabuk. Teman-teman mereka yang lain bahkan lebih buruk. Dua diantara mereka bahkan tidak bisa berjalan lurus.

Sooji dan Minho berdiri di pintu masuk restoran dan memastikan bahwa semua orang naik taksi dengan aman.

Saat hanya tinggal mereka berdua yang tersisa, Sooji mengangkat lengannya untuk memanggil taksi lain, tapi Minho menghentikannya.

"Ayo bicara," kata Minho.

Sooji meletakkan tangannya dan melihat Minho. Dia bertanya,"Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"

Minho menghindari tatapannya dan tidak berani menatapnya langsung. Wajahnya tampak memerah. "Apa kau ingin pergi ke pameran kuil bersama lusa?"

Eh?

Sooji menatap wajah Minho dan bertanya,"Choi Minho, apa maksudmu dengan itu?"

"Aku..."

"Apa... kau mengajakku berkencan?"

Minho tidak menyangka bahwa Sooji akan berterus-terang seperti ini. Benar, gadis itu selalu jujur ​​dan berpikiran terbuka. Pada awalnya, gadis itu adalah orang yang menyatakan perasaannya kepadanya terlebih dahulu.

Apa Sooji tahu betapa senang dan terharunya dirinya saat dia mendengar pengakuan Sooji? Dan apa Sooji tahu bahwa dirinya sudah menyimpan perasannya di dalam hatinya selama tiga tahun?

"Bae Sooji." Kepala Minho menunduk saat dia menatap trotoar. "Aku menolakmu saat itu karena aku berharap kita berdua bisa berjuang untuk masa depan kita yang lebih baik. Menjadi realistis adalah cara terbaik untuk melindungi emosi kita."

Sooji mengangguk,"Aku tahu. Itu sebabnya aku tidak menyalahkanmu. Kita berdua harus maju terus dan tidak memikirkan masa lalu."

"Lalu sekarang..."

"Sekarang, rasa sukaku padamu sudah menjadi bagian dari masa lalu."

Minho tersenyum pahit. "Haruskah kau begitu berterus terang tentang hal itu?"

Sooji menggaruk kepalanya. "Meskipun berkata seperti ini mungkin sedikit menyakitkan, aku pikir yang terbaik adalah membuat semuanya menjadi jelas. Ada orang lain yang aku sukai sekarang."

Sementara mereka berdua berbicara, Myungsoo berdiri tidak jauh dari sana. Dia bersembunyi di balik lampu jalan seperti mata-mata dan bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. Tiang tipis itu tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan seluruh tubuhnya. Untungnya, dia suka memakai pakaian berwarna hitam akhir-akhir ini dan tiang itu juga hitam. Hal itu memberinya lapisan tipis untuk berkamuflase.

Saat dia mendengar Sooji menolak Minho, hati Myungsoo melompat gembira.

Kemudian, dia mendengar Minho bertanya pada Sooji,"Orang yang kau sukai sekarang - apa itu Kim Myungsoo?"

Advertisement

Jantung Myungsoo mulai berdetak kencang. Dia menahan napas, berharap bisa memasang antena di telinganya untuk memastikan bahwa dia dapat dengan jelas mendengar kata-kata yang akan Sooji ucapkan selanjutnya.

Tapi, Sooji masih belum bisa mengakui bahwa dia benar-benar menyukai Myungsoo. Mendengar pertanyaan Minho, dia segera menghindari tatapannya dan membantah dengan datar,"Bagaimana bisa aku menyukainya? Kim Myungsoo hanyalah pesuruh kecilku."

Bagus, bagus sekali.

Myungsoo memukul tiang itu.

Bunyi baja yang tumpul akhirnya menarik perhatian kedua orang itu. Keduanya sontak memandang ke sumber suara.

Setengah dari wajah Myungsoo disembunyikan di belakang tiang. Pria itu balas menatap mereka dengan cemberut. Dengan pose seperti itu dan bagaimana cahaya bersinar dan mendarat di tubuhnya dari atas, membuatnya tampak seperti dia sudah dipanggil oleh cahaya suci.

Sooji melompat kaget. "Kim Myungsoo, apa kau pikir tiang itu akan berhasil menyembunyikanmu atau kau pikir kau tidak terlihat?"

Myungsoo dengan tenang berjalan keluar dari balik lampu jalan dan berkata,"Kebetulan sekali."

Sooji merasa terganggu oleh Myungsoo tetapi dia sudah menyelesaikan apa yang ingin dia katakan. Karena itu, dia mengucapkan selamat tinggal pada Minho.

Sebelum mereka berpisah, dia tiba-tiba teringat suatu hal dan bertanya pada Minho,"Apa kau yang mengirim foto-foto itu ke rumahku?"

Wajah Minho bingung. "Foto apa?"

Sooji melambaikan tangannya. "Lupakan saja. Aku percaya padamu. Aku pergi, sampai jumpa."

Dia pergi dengan Myungsoo. Setelah mereka berada lumayan jauh, Myungsoo menatapnya dengan geli tipis di wajahnya. "Pesuruh kecil?"

Sooji merasa bersalah dan detak jantungnya mulai meningkat. Dia tidak berani menatap pria itu langsung dan menundukkan kepalanya untuk menatap kakinya.

"Siapa yang mau menjadi pesuruh kecilmu?" kata Myungsoo pada akhirnya.

Sooji memukul kepalanya. "Oh, benar, dengan ukuran tubuhmu, harusnya kau adalah pesuruh besar."

Myungsoo sangat kesal sehingga dia memutar matanya. Dia benar-benar ingin mengetuk kepala Sooji tapi takut itu akan membuat gadis itu kesakitan.

Setelah beberapa saat, Sooji tiba-tiba berbicara,"Kim Myungsoo, pada tanggal delapan nanti, apa kau ingin pergi ke pameran Kuil Mudeungsan bersama-sama?"

Myungsoo berhenti berjalan dan menatapnya. Dia bertanya dengan lembut,"Apa kau sedang mengajakku ke pameran Kuil Mudeungsan?"

"Hm," Setelah mengatakan ini, dia dengan cepat menambahkan,"Jung Soojung juga akan ada di sana. Ayo kita bersenang-senang bersama."

Myungsoo yang awalnya antusias karena mengira bahwa dia bisa berkencan dengan Sooji hanya memutar matanya kesal. "Oh."

Pekan raya Kuil Mudeungsan adalah salah satu pameran kuil tradisional terbesar di Gwangju. Kuil ini populer di kalangan massa karena dikatakan bahwa doa yang dilakukan di sana sering dijawab.

Tanggal delapan, selain Soojung, Jongin juga ada di sana. Myungsoo merasa bahwa mereka berdua ada di sana untuk menjaga kedua sisi Sooji.

Mereka berempat tiba di pasar malam sekitar jam 11 pagi dan membeli banyak jajanan jalanan. Mereka berjalan bersama kerumunan dan pemberhentian pertama mereka adalah Jembatan Cendekia. Jembatan Cendekia adalah jembatan batu melengkung dengan beberapa ratus tahun sejarah. Di bawah jembatan, sebuah koin perunggu kuno besar yang lebih besar dari baskom didirikan. Di tengah-tengah koin perunggu bundar itu ada lubang persegi dan di tengahnya tergantung bel kecil.

Apa yang membuat Jembatan Cendekia begitu populer bukanlah legenda menjadi cendekiawan setelah menyeberanginya. Sebaliknya, yang membuatnya populer adalah lonceng kecil itu.

Katanya permohonan kita akan terwujud jika kita berhasil memukul bel kecil dengan koin.

Bersama banyak orang lainnya, Sooji berdiri di sebelah pagar di samping sungai untuk mencoba melemparkan koin ke bel.

Terlalu banyak orang. Myungsoo takut gadis itu akan remuk. Myungsoo lalu berpegangan pada pagar di belakangnya. Menempatkan kedua tangannya di samping kedua sisi Sooji, dia menggunakan tubuhnya untuk mengukir ruang kecil dan aman.

Untung lengannya kuat dan bisa berpegangan pada pagar dengan aman. Setiap kali ada orang yang berada terlalu dekat dan menabraknya, dia bisa menangkal mereka dengan sedikit menyesuaikan tubuhnya.

Sooji tampak seperti berdiri di pelukannya. Otaknya sejenak tidak fokus dan dia bingung dimana dia harus melempar koinnya.

Dari atas kepalanya terdengar suara rendah dan geli. "Bodoh."

Bertahanlah jantungku!

Sooji menenangkan dirinya, menutup matanya dan secara membabi buta membuang koin.

Cling clang-

Dari samping, terdengar suara senang Soojung. "Rajaku, kau hebat!"

"Eh?" Mata Sooji sontak terbuka dengan gembira. Saat berikutnya, dia jengkel. "Huh, aku tidak bisa melihatnya sendiri."

Myungsoo tertawa pelan. Meskipun tawanya terdengar pelan, Sooji bisa mendengar tawa lelaki itu karena posisi mereka yang cukup dekat.

Jongin memperhatikan dengan tenang dari samping dan merasa bahwa Myungsoo tampak menggelikan.

Setelah Sooji berhasil membunyikan bel, Kim Myungsoo mulai melempar koin ke bel juga. Dia sepertinya lupa bahwa dia masih mengitari Sooji; salah satu tangannya terus berpegangan pada pagar sementara yang lain terangkat untuk melempar koin. Karema gerakannya sedikit lebih besar, tubuh Sooji menyentuh tubuhnya.

Sooji hanya bisa dengan erat menekan dirinya ke pagar dan tetap diam.

Jongin tidak bisa menahan untuk tidak mengangkat alisnya. Bosnya yang biasanya mengesankan saat ini terjebak dalam pelukan Myungsoo seperti seorang gadis kecil! Kekuasaannya mungkin benar-benar sudah menghilang!

Myungsoo juga berhasil membunyikan bel setelah beberapa saat. Sooji akhirnya bisa santai dan mereka berdua memandang ke arah Jongin dan Soojung.

"Rajaku, kalian berdua bisa pergi ke tempat lain dulu. Aku belum bisa pergi. Aku harus mewujudkan permohonanku," kata Soojung. Setelah gagal membunyikan bel terlalu lama, dia memutuskan untuk mencoba menggunakan metode Sooji untuk melempar secara membabi buta.

Jongin juga belum berhasil memukul bel. Dia dengan cepat mengangguk dan berseru,"Aku juga!"

Maka dari itu, mereka berempat memutuskan untuk berpisah. Sooji dan Myungsoo pergi dari Jembatan Cendekia dan menuju ke Kuil Mudeungsan.

Setelah bermain sebentar, Soojung berpegangan pada pagar dan mengintip kaki mereka di bawah. Kemudian, dia tiba-tiba berkata pada Jongin,"Kim Jongin, sepatumu-"

"Ah!" Jongin sangat gembira. "Seseorang akhirnya memperhatikannya!" Dia lalu menceritakan pada Soojung betapa menakjubkan dan berharganya sepatu kets edisi terbatasnya.

Soojung mendengarkan sampai dia sedikit bingung. "Eh, aku hanya ingin memberitahumu bahwa ada jejak kaki di sepatumu. Ingatlah untuk menghapusnya nanti. "

"Oh..."

Namun, setelah mendengarkan kesombongan Jongin, Soojung merasa berkewajiban untuk memujinya. Karena itu, dia tersenyum dan berkata,"Sepatumu pasti sangat mahal, 'kan? Sepertinya penghasilan Tahun Baru-mu tahun ini cukup bagus!"

"Heh, ini gratis."

"Ah? Kau mengambilnya dari jalanan?"

"Tidak..."

Jongin menceritakan seluruh kisahnya pada Soojung. Setelah mendengarkannya, Soojung bertanya, "Jadi dimana sepasang sepatumu yang lainnya?"

"Belum dibeli. Kim Myungsoo masih berhutang padaku dan aku belum memutuskan apa yang aku inginkan."

"Kim Jongin, jika rajaku tahu tentang tindakanmu..."

Jongin berkata dengan tergesa-gesa,"Kau tidak diperbolehkan untuk memberi tahu bosku!"

"Oh," Soojung memutar-mutar jari-jarinya. Dia meliriknya dengan sembunyi-sembunyi dan berbisik,"Kalau begitu kau harus membayarku uang tutup mulut."

"Ah?" Jongin kaget.

"Sepasang sepatu lainnya adalah milikku. Biarkan Myungsoo memberikan sepatumu dalam bentuk uang tunai. Kau akan menyimpan uang itu dan menggunakannya untuk membeli makanan ringan untukku."

Jongin lalu berkata, "Kenapa kau tidak langsung mengatakannya pada Myungsoo? Dia pasti mau menyuapmu."

Soojung menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Itu berbeda. Jika aku disuap secara pribadi oleh Kim Myungsoo, itu sama saja dengan mengkhianati teman baikku."

"Bagaimana dengan sekarang?"

"Sekarang, aku hanya mengumpulkan uang untuk sebuah tugas sulit yaitu membantumu menjaga rahasia."

Kim Jongin tercengang. "Bukankah ini artinya kau sedang mempertahankan posisi tinggimu sambil memanfaatkanku?"

Soojung tersenyum.

Kim Jongin merasa bahwa dia tidak berada di sisi yang sama dengan Soojung.

- Bosnya sudah mengangkat bos kecil untuknya...

    people are reading<LOVENEMIES [END]>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click