《[✓] Mate || Park Jihoon》Chapter 31.
Advertisement
Saat langit mulai gelap, Jihan turun dari kamarnya dengan menggunakan kaos putih dan celana jeans pendek selutut dengan rambut panjang yang di kuncir kuda dan poni tipisnya menutupi dahi.
"Udah selesai sayang?!." Tanya mama jihan.
"Udah ma, maaf ya lama."
"Tidak apa-apa kok, ayok kita masak sekarang." Ucap mama Shoji.
"Mau masak apa kira-kira?!." Tanya Jihan.
"Kita buat kimchi, bulgogi, miyeok guk dan Dakgalbi." Ucap mama Shoji.
"Dakgalbi?! Mama mau buat ayam tumis pedas?! Serius?! Argh itu kesukaan Jihan." Ucap Jihan antusias.
"Iyah dong sayang makanya kami berdua mau bikin makanan kesukaan kamu juga." Ucap mama shoji.
"Emang deh mama berdua itu yang paling the best hehe." Ucap Jihan memberikan dua jempolnya kearah kedua mamanya itu dengan senyum lebar di bibirnya.
"Bisa aja kamu." Ucap mama Jihan terkekeh geli.
"Oh ya, jihoon sama papa dimana?! Bukannya tadi ada di ruang tamu?!."
"Mereka lagi di ruang tamu yang sekarang diubah jadi ruang meeting mereka." Ucap Mama Shoji.
"Lho, kapan diubahnya?!."
"Pas kalian masih di kampus, kamu tau Jihan, papa kamu dan papa mertua kamu itu saat datang ke sini langsung mengubah ruang tamu jadi ruang meeting mereka bertiga."
"Astaga, ada-ada aja deh kelakuan mereka bertiga." Ucap Jihan menggelengkan kepalanya.
"Haha sudahlah biarkan saja mereka, lebih baik kita makan sekarang sebelum mereka turun lalu mengeluh lapar." Ucap mama jihan.
"Baiklah mama." Ucap Jihan tersenyum lebar.
Ketiga wanita cantik ini begitu telaten dan 3 dalam hal memasak terlebih lagi Jihan yang memang sangat pandai dalam hal memasak, semua bahan-bahan yang Jihan potong-potong juga begitu rapih sekali.
Setengah jam kemudian masakan mereka bertiga sudah tersaji di meja makan, tidak lama setelah itu ketiga pria itu turun dari lantai dua dengan saling bercanda ria.
"Wah, sepertinya enak." Ucap Papa jihan.
"Siapa yang masak semuanya?!." Tanya Papa Hyungsik.
"Jihan." Ucap kedua mama itu yang membuat Jihan kaget.
"Serius?!." Tanya Jihoon.
"Tidak, itu tidak benar kami bertiga yang masak dan aku hanya bantu motong-motong bahan doang." Ucap Jihan menggelengkan kepalanya.
"Tetap saja kamu ikut masak sayang, udah yuk makan." Ucap Mama Jihan.
"Mama duduk saja,biar Jihan yang menyendok makanan untuk kalian semua." Ucap Jihan saat mamanya hendak mengambil piring milik papa.
"Baiklah kalo gitu, maaf merepotkan kamu." Ucap mama.
"Aku senang melakukannya jadi aku tidak merasa direpotkan." Ucap Jihan.
Saat jihan memberikan sepiring nasi untuk mama dan papa juga orang tua jihoon, kini piring terakhir untuk jihoon ia bahkan memberikan lauk untuk jihoon menyantapnya segera.
"Terimakasih." Ucap jihoon.
"Sama-sama." Ucap jihan dengan senyum mengembang.
Advertisement
"Selamat makan semuanya."
Saat menyantap makan malam bersama tidak ada obrolan yang terjadi di meja makan hanya suara dentingan sendok dan garpu di atas piring, setelah makan malam selesai jihoon dan kedua papanya itu kembali untuk membahas pekerjaan i ruang meeting dadakan buatan papa mereka berdua.
"Mama istirahat saja, biar aku yang rapihkan ini semua." Ucap Jihan.
"Mama bantu ya." Ucap mama Shoji.
Jihan menggeleng,"Tidak ma, tidak apa-apa Jihan saja, lebih baik kalian berdua istirahat saja pasti capek kan belum istirahat."
"Ya sudah kalo gitu, kami berdua pergi ke kamar ya kamu juga harus istirahat Jihan." Ucap mama Jihan.
"Iyah ma, nanti selesai rapihkan ini semua aku ke kamar istirahat."
"Baiklah, terimakasih ya." Ucap Mama Shoji mencium kening Jihan, dilanjutkan oleh mama Jihan juga.
"Sama-sama ma, selamat istirahat."
"Selamat istirahat juga cantik." Ucap Mama Jihan.
Saat kedua mama kesayangannya itu beranjak pergi dari dapur, Jihan langsung bergegas merapihkan semua piring yang ada di meja makan lalu memindahkannya ke wastafel untuk di cuci.
Saat selesai mencuci semua piring dan gelas Jihan melihat stok perlengkapan kamar mandi nya sudah habis.
"Sabun mandi habis, aku juga harus beli shampo dan yang lainnya, jam segini masih buka kali ya minimarket." Ucap Jihan melirik jam tangannya.
"Baru jam delapan juga belum terlalu larut, lebih baik aku beli sekarang saja."
Jihan beranjak pergi dari dapur untuk ke kamar, saat di kamar ia mengambil dompet mini nya dan tidak lupa mengganti celana jeans pendek nya menggunakan jeans panjang dan blazer warna hijau muda, ia pun berjalan keluar kamar dan tidak sengaja bertemu dengan mama nya.
"Lho, Jihan kamu mau kemana?!."
"Aku mau ke minimarket dulu ma, perlengkapan kamar mandi pada habis soalnya."
"Sendirian?!."
"Iyah ma, sebentar aja kok."
"Tapi ini sudah malam sayang, minta anterin sama jihoon ya."
"Tidak usah ma tidak perlu, Jihoon lagi sibuk sama papa bahas kerjaan aku tidak mau mengganggu mereka."
"Ya sudah, sama mama saja kalo begitu."
Jihan menggeleng,"tidak mama! Aku sendiri aja oke, mama itu harus istirahat, aku janji akan pulang cepat kok."
"Ya sudah Iyah, tapi janji ya pulang cepat jangan pergi kemanapun."
"Iyah mama sayang, ya sudah aku berangkat dulu ya."
"Hati-hati jihan."
"Iyah ma!."
Mama menatap punggung Jihan yang sudah menghilang dari hadapannya, entah kenapa tiba-tiba saja perasaannya mendadak tidak enak seperti ini.
"Ada apa ini?! Kenapa perasaanku tidak enak, semoga tidak terjadi apapun kepada Jihan." Ucap mama mengelus dadanya untuk menghilangkan rasa gelisah.
*****
Di sebuah cafetaria sungchan sedang duduk sendirian dengan ditemani oleh secangkir kopi.
Advertisement
"Sungchan!." Merasa namanya di panggil sungchan pun menoleh ke belakang.
"Taeyong, akhirnya datang juga."
Sungchan memiliki janji kepada Taeyong sahabat kecilnya untuk bertemu di sebuah cafetaria karena ada hal yang ingin sungchan ceritakan kepada Taeyong.
"Maaf sudah menunggu lama."
"Tidak, aku juga baru sampai, duduklah biar aku pesankan minuman untukmu."
"Baiklah." Taeyong pun duduk di kursi depan sungchan, pelayan cafe datang setelah sungchan memanggilnya.
"Kamu mau sesuatu?!." Tanya Sungchan.
"Green tea satu ya." Ucap Taeyong.
"Baiklah, mohon di tunggu ya mas."
Setelah pelayan itu pergi Taeyong menatap kearah sungchan yang tiba-tiba saja menjadi pendiam.
"Yaa! Kau mengajakku bertemu bukan untuk menilai seberapa lama kamu melamun kan?!."
"Tidak-tidak, aku mana mungkin seperti itu."
"Lalu ada apa?!."
"Aku ingin meminta pendapatmu tentang melupakan seseorang."!
"Melupakan seseorang?! Maksudnya gimana?!."
"Jadi sebulan terakhir aku bertemu dengan seorang wanita cantik di perpustakaan lalu aku tertarik dengan wanita itu, kamu tau kan hobi aku adalah melukis setiap wajah wanita itu ada di pikiranku aku selalu melukis wajah cantiknya itu, sampai akhirnya aku berusaha untuk mendekati dia dan menjadi teman nya juga sampai akhirnya aku menyukainya."
"Oh, maksudnya kamu mulai suka sama dia dari awal bertemu, begitu?!."
Sungchan mengangguk,"Kemarin aku mengungkapkan perasaanku dengan dia, tapi ternyata di sudah menikah dan itu karena perjodohan."
"Ha apa?! Sudah menikah?! Yaa! Umurnya berapa memangnya masih muda?!."
"Tentu saja masih muda aku sama dia saja mungkin beda dua tahun, aku ada fotonya."
Sungchan menunjukkan foto Jihan yang ada di galeri hp nya, foto Jihan itu diam-diam diambil sungchan saat mereka sedang jalan berdua.
"Cantik si tapi sayang udah punya pawang." Ucap Taeyong menganggukkan kepalanya,"Lalu apa lagi yang kamu harapkan, lupakan saja wanita itu."
"Sebab itu aku meminta kamu ke sini, aku mau minta solusi untuk melupakan dia, Taeyong."
"Yaa! Kau hanya perlu menghindarinya saja sungchan, hapus foto itu dan anggap saja kalian tidak saling mengenal, mudah kan?!."
"Aku udah mencobanya, tapi tetap saja tidak bisa."
"Kalo gitu jadilah pria yang dewasa untuk menerima kenyataan ini, jika memang menghindar tidak bisa buat kamu melupakan dia maka tidak ada cara lain selain kamu melupakan nya perlahan-lahan, terima kenyataan ini dengan sepenuh hati, mungkin kedengarannya sedikit menyakitkan, tapi cara yang terbaik adalah merelakan dia bahagia dengan pria lain."
"Tapi apakah aku bisa?!."
"Jangan tanya aku karena aku bukan kamu, tanya diri kamu sendiri bisa atau tidak?! Jika memang kamu mau melupakannya maka cobalah untuk lupakan dia sampai perasaan kamu ke dia hilang sepenuhnya, tapi bukan berarti kamu dan wanita itu bermusuhan sungchan, tapi jadikan itu semua sebagai hubungan pertemanan kalian."
Sungchan diam dengan pikiran kosongnya ia mencoba untuk mencerna kata-kata yang keluar dari Taeyong.
"Sungchan, percayalah padaku, jika dia memang bukan jodoh kamu maka lepaskan dia, masih ada wanita lain yang lebih pantas untuk kamu."
Sungchan menghela nafas beratnya kemudian menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, aku akan mencobanya, terimakasih Taeyong aku tidak salah memintamu untuk datang ke sini."
"Santai saja, sama-sama, semangat jangan seperti itu." Ucap Taeyong tersenyum lebar.
"Baiklah." Ucap sungchan terkekeh dengan menatap kearah Taeyong.
*****
Jihan yang baru saja keluar dari minimarket berjalan kaki untuk sampai ke rumah, sebenarnya banyak mobil di bagasi rumah nya tapi sayangnya ia tidak bisa mengendarai mobil.
"Padahal baru setengah sembilan deh tapi kenapa jalan disini sepi banget ya." Ucap Jihan melirik ke arah jalanan.
"Lebih baik aku cepat-cepat pulang deh, nanti jihoon nyariin aku kan belum sempat izin ke dia mau ke minimarket." Ucap Jihan.
Saat jihan sedang jalan tanpa diketahui ada seorang pria bertopeng berjalan di belakang Jihan membawa sebuah balok kayu di tangannya, Jihan tidak menyadari kehadiran pria itu dibelakangnya sampai ketika..
BUGH!!
"Argh!." Teriak Jihan kemudian jatuh pingsan akibat pukulan balok kayu itu.
Pria itu mengangkat tubuh Jihan lalu di masukin ke dalam mobil yang sepertinya ada pria bertopeng lainnya di dalam mobil, saat mobil itu berjalan motor sungchan berhenti tepat di belakang mobil tadi.
Sungchan melepaskan helm nya lalu menatap kearah mobil yang membawa Jihan.
"Bukannya tadi itu Jihan ya?! Mau dibawa kemana dia sama pria-pria bertopeng itu, tidak bisa dibiarkan aku harus menolongnya."
Sungchan memakai helmnya lalu menyalahkan mesin motor kemudian mengikuti mobil itu.
Selama sungchan mengikuti mobil itu akhirnya mobil yang menculik Jihan berhenti di sebuah rumah kosong, pria bertopeng itu keluar dengan menggendong tubuh Jihan yang masih pingsan, sungchan melepaskan helm nya ia berhenti di pinggir jalan dan melihat ke arah rumah kosong itu.
"Rumah kosong?! Untuk apa mereka bawa Jihan ke rumah kosong?!."
Sungchan turun dari motornya kemudian berjalan dengan pelan-pelan agar tidak ketahuan kehadirannya, sungchan berjalan ke tembok samping Dimana ia bisa melihat Jihan yang diikat tangan dan kaki nya di kursi lewat kaca yang sudah setengah pecah.
"Bagus! Kerja kalian sangat bagus haha! Akhirnya aku bisa menyiksa gadis ini kalo perlu membunuhnya saja."
"Apa bos yakin mau bunuh gadis ini?!."
"Kalo Iyah memangnya kenapa?! Kamu ingin membantahku!!."
"Tidak bos, tidak sama sekali." Ucap pria berbadan besar itu dengan menundukkan kepalanya.
Sungchan tentu saja terbelalak kaget ia menggelengkan kepalanya kemudian mengambil gambar lima pria bertopeng satu bosnya itu.
"Aku harus memberitahu jihoon, dia harus menolong Jihan." Ucap Sungchan kemudian beralih untuk pergi dari rumah kosong itu.
Advertisement
- In Serial26 Chapters
Abyss' Apprentice (Progression Fantasy)
Delvers gain magical powers from binding relics of the Abyss, shards of a wonderland with warped laws of reality. Felix is obsessed with the Abyss, but can't pass delving guilds exams. When a godlike being steals his homeland, Felix resolves to chase the impossible. He must master powerful relics, learn the secrets of the Abyss, and become more than a human. Copyright © 2021 Sain Smyth. All rights reserved. Discord link https://discord.gg/UkUfjJXxmM
8 79 - In Serial21 Chapters
Madness with a touch of sanity
A story from the point of view of madman, although they seem perfectly sane, the world will burn around them and only they will remain, and maybe some others too. This is one of my first published stories, hate it if you want, I probably will, but any advice will always be appreciated, if I can improve my writing I will be happy. Cover is temporary, royalty-free image, until I either create or commision someone to create a new one
8 195 - In Serial46 Chapters
Shepherd Moon
On the run from the Earth government and military forces, wanted former terrorist Maddy Hawthorn seeks a new life on Mars. When she discovers plans for another terrorist attack, her only hope to prevent a global catastrophe is to seek the help of other insurgents. But everyone wants her dead, including the people she is trying to save. With the help of a runaway Elite teenager and a band of renegade slaves, Maddy fights to save the very government system she despises. Nothing lasts forever. Although it alludes to events in the previous Maddy Hawthorn book, "Days of Iron", this is a separate story and is designed to be read and understood independently.Cover art by BeyondBookCovers. www.beyondbookcovers.com
8 202 - In Serial51 Chapters
Accidental dungeon
A man, reincarnated into a magic world, fought his way to the very top, only to have to start again after an accident. He find's himself turned into a dungeon core and now he has to do it all over again. Maybe this time, he can even rise higher than he climbed before. On his side he has his trusted partner Luna - a dungeon fairy, for him she was more like a deus ex machina. The story is written in the third person and contains multiple points of view. At the moment this would be the mc, Luna and a young starting adventurer. The story will not be continued. If you're interested in thereasons, you can read the last chapter.
8 159 - In Serial75 Chapters
Wanting in Paradise
Mia was a somewhat weird child living in her remote beastmen village with her family. Until one day the human nation invaded on their way to defeat the Demon king. Her village pillaged and herself thrust into slavery she longs for the day she can return to her own little slice of paradise. How will she reclaim what was wrongfully taken from her? Is it even possible? With the odds stacked against her she will certainly try her best, but she might need a few second chances.
8 125 - In Serial65 Chapters
The Mafia's Heirs
Dr. River Johnson didn't know the consequences of sleeping with the Capo of the Sicilian Mafia. She didn't even remember his name or face. But then two red lines and two bundles of joy later, she knew her life would never be the same again. Especially when the capo shows up at her doorstep, with a gun trained to her head.
8 136

