《BRAINWASH》5. FACING DESTINY
Advertisement
Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu aku berdiri di depan cermin. Bukan, aku enggak lagi mematut diri di cerimin, kok. Isi kepalaku sibuk meyakinkan diri untuk mulai melancarkan aksi. Sejak tadi aku berkomat-kamit mengulang kalimat-kalimat penuh alasan pada papa.
Jujur saja, beberapa hari melihat kemesraan keluarga baru papa sempat membuatku nyaris menyerah. Untungnya aku ingat kalau Eyang Kung pernah bilang, kita enggak tahu akan menemukan keberhasilan atau kegagalan, jika kita enggak pernah mencoba. Hal paling menyedihkan dari seorang kesatria adalah kalah sebelum berperang. Dipukul mundur bukan karena terhunus pedang, tapi oleh pikiran sendiri.
Setelah mengatur napas, aku segera beranjak ke pintu. Waktu pintu kamarku terbuka, Evalia sudah berdiri di sana dengan satu tangan terangkat hendak mengetuk pintu.
Bodoh! Mau apa, sih, dia?
"Ehh, Mbak Maira udah siap," katanya lengkap dengan senyum lebar. Sebenarnya, Evalia gadis yang cantik. Dia memiliki bibir tipis dengan senyum manis. Sayangnya, itu enggak mengubahku jadi menyukainya.
"Ngapain kamu di sini?" ketusku. Aku sengaja memasang tampang enggak bersahabat. Toh, aku memang enggak berniat menjalin persahabatan sama anak ini.
"Aku mau ngajak Mbak Maira sarapan. Tuh, udah ditunggu sama papa-mama di ruang makan," sahut Evalia sambil menunjuk dengan dagu ketika menjelaskan keberadaan papa.
Aku berdehem untuk menyahuti Evalia. Setelah menutup pintu kamar, aku memilih langsung berjalan meninggalkan Evalia. Enggak kupedulikan tampangnya yang kuyakini pengin banget ngajak aku ngobrol sambil jalan ke ruang makan.
"Pagi, Pa," sapaku sambil menarik kursi di meja makan.
"Pagi, Mai. Ayo, makan," ajak Papa. Aku mengangguk lalu mengambil piring.
"Selamat pagi, Maira," ucap Mama Ambar lengkap dengan senyum ramahnya.
Sejujurnya, aku malas menjawab salam mama Ambar, Si Pelakor. Tapi, tatapan papa membuatku enggak punya pilihan.
"Pagi, Tante," sahutku.
Jangan salahkan aku yang sampai kapanpun enggak bisa memanggil wanita itu dengan sebutan mama, meski diembel-embelin pakai Ambar. Bagiku, mamaku cuma satu, dan itu hanya Mama Nilasari. Biar kadang nyebelin dan sering enggak punya waktu untukku, aku enggak berniat menukar mama dengan orang lain, apalagi dengan wanita perebut suami orang begitu.
Mama Ambar tersenyum seolah enggak terganggu dengan panggilan tante, meski papa sudah mencoba pelan-pelan membuatku terbiasa memanggil mama.
Advertisement
"Loh, kok tante, sih?" protes Papa dengan dahi berkerut.
"Mas," panggil mama Ambar lembut. Tangannya mengusap pelan lengan papa.
Mereka kemudian bersitatap. Mama Ambar seolah memberi sinyal sesuatu pada papa. Hingga akhirnya papa menghela napas seperti orang menyerah.
Daripada menontoni kebucinan mereka, aku lebih memilih untuk memasukkan nasi goreng banyak-banyak ke dalam mulutku. Nasi goreng ini rasanya enak. Padahal, Eyang Uti juga sering memasakkan nasi goreng untukku, tapi rasa nasi goreng ini jauh lebih enak.
"Pa, aku berangkat sama papa, ya," pintaku ketika kami sudah berada di teras rumah dan siap berangkat.
"Loh, kan, kampus kamu lebih dekat sama tempat laundry Mama Ambar," sahut papa.
Aku bukannya enggak tahu. Sejak kemarin mama Ambar dan papa sudah membahas soal itu. Mereka juga mengatakan kalau aku akan berangkat ke kampus bersama mama Ambar karena jarak temoat tujuan kami yang lebih dekat. Sedangkan papa akan berangkat dengan Evalia karena jarak antara kantor dan sekolahnya lebih dekat. Kalau mengikuti unjuran mereka, terus kapan aku bisa melancarkan rencanaku?
"Lagian, papa mesti nganter Evalia ke sekolah. Enggak bakal keburu kalau ngantar kalian berdua," imbuh papa lagi.
"Yah, padahal, kan, aku pengin banget bareng sama papa," kataku dengan raut wajah semerana mungkin.
"Yasudah, Mas. Biar Evalia bareng sama mama aja," ujar mama Ambar mencoba menengahi.
Dengan cepat Evalia mengangguk setuju. "Iya, Pa. Aku berangkat sama mama aja. Lagian, Mbak Maira pasti masih kangen banget sama papa. Aku, kan, udah sering bareng sama papa."
Mendengar penuturan Evalia, papa dan mama Ambar jadi tersenyum nyaris tertawa. Mama Ambar langsung merangkul bahu Evalia, sedangkan papa langsung mencubit gemas pipi Evalia sambil berkata, "duh, pinter banget sih anak papa. Jadi makin sayang, deh."
Enggak hanya sampai di situ saja, papa juga mengusap puncak kepala Evalia, lalu menciumnya.
Sumpah! Aku pengin banget memusnahkan mereka berdua agar enggak berada di dekat papa lagi. Aku benci melihat keakraban mereka. Aku benci melihat papa tersenyum pada mereka. Aku benci melihat mereka saling menyayangi begitu. Kenapa bukan aku dan mama saja yang diperlakukn begitu sama papa?
Untung kejadian itu enggak berlangsung lama. Setelah aku menyinggung soal jadwal ospek, papa langsung mengajakku masuk ke dalam mobil. Kupikir keadaan di dalam mobil akan lebih baik dan aku bisa membahas tentang mama dengan papa. Nyatanya aku salah. Papa terus saja bercerita tentang mama Ambar dan Evalia.
Advertisement
"Ehh, Pa, masih ingat lontong balap kesukaan papa di Surabaya?" tanyaku sebelum papa melanjutkan pembahasan tentang dua orang yang paling kubenci.
"Ohh, jelas papa enggak mungkin lupa sama lontong balap Pak Gendut yang melegenda itu, dong," sahut papa penuh semangat.
"Sebelum ke sini, kan, aku sempatin mampir makan di sana dulu, loh," kataku lagi.
Lontong balap berhasil memutar arah topik pembahasan papa. Ia juga jadi bertanya banyak hal tentangku selama di Surabaya. Dari sekin banyak pertanyaan yang kami bahas, satu-satunya yang enggak papa singgung hanyalah tentang mama.
Aku cukup kesal mendapati bahwa papa sepertinya enggan mengingat tentang dirinya dan mama di masalalu. Apa sebegitu besarnya pengaruh mama Ambar dan Evalia sampai-sampai papa melupakan mama?
Mobil berhenti di parkiran kampus. Bukan hanya parkirannya saja yang luas, tapi kampus ini juga luas banget. Bahkan untuk berkeliling dari satu fakultas ke fakultas lainnya perlu kendaraan. Kurasa itu juga yang menjadi alasan ada penyewaan sepeda di sini.
Setelah mencium punggung telapak tangan kanan papa, aku segera keluar dari mobil. Baru saja kakiku menginjak anak tangga Grha Sabha Pramana, tempat di mana aku harus menjalani masa pengenalan kampus, seseorang tiba-tiba saja berjalan menyusulku dari arah belakang. Bukannya mendahuluiku, dia malah mensejajarkan langlahnya denganku.
Melihatnya membuatku mengerutkan dahi. Aneh saja rasanya. Aku, kan, enggak mengenalnya, tahu-tahu dia berjalan bersisian denganku begini sambil tersenyum ramah. Apa orang Jogja memang begini semua?
"Hai, baru nyampe?" tanya cowok itu dengan santainya. Nada suaranya seolah kami sudah lama saling kenal.
Aku mengerutkan dahi lebih dalam lagi. Aku baru saja akan memintanya menjauh, tapi dia segera membuat gerakan bibir dengan nada pelan tertahan untuk mengatakan, "please, tolongin gue. Lo bersikap biasa aja, kayak kita memang kenal ya." Dia juga memberikan kode dengan matanya ke arah belakang.
Aku melirik pada arah yang ditunjuk sama cowok itu. Mobil mewah berwarna putih yang biasa dipakai para selebritis berhenti tepat di depan pelataran Grha Sabha Pramana. Jendelanya sengaja dibuka hingga aku bisa melihat dengan jelas
satu keluarga yang berada di dalamnya.
Cowok itu ikut melirik ke belakang lalu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah mobil tadi. Mobil itu baru meninggalkan gedung ini setelah kami melewati pintu masuk.
Dia menghela nafas lega seolah baru terbebas dari pidana. "Thanks, ya," ucap cowok dengan tulang pipi tinggi dan hidung mancung. Melihatku enggak menanggapinya, dia langsung mengulurkan tangan sambil berkata, "kenalin gue, Erlangga Himawan."
Kusambut uluran tangannya. "Maira," kataku singkat.
"Sekali lagi makasi, ya, udah nyelamatin gue dari keluarga yang parnoan." Dia menggaruk tungkuknya yang kuyakini enggak gatal. Dia juga terlihat malu-malu saat mengatakannya.
Melihat kelakuannya, membuatku gagal menahan senyum. "Kok, bisa, sih?" tanyaku sambil menggeleng pelan dan tetap mempertahankan lengkungan di bibir.
Erlangga melirikku, dahinya sedikit berkerut. "Bisa apa? Bisa SKSD atau bisa diprotektifin begitu?" tanyanya memperjelas arah pembahasanku.
"Dua-duanya," sahutku yang penasaran dengan alasan Erlangga.
"Pertama karena lo orang yang pertama gue lihat di depan tadi. Kedua karena mereka pengin lihat proses ospek di sini. Mereka parno, takut ospek di sini kayak di kampus-kampus lain yang pakai kekerasan gitu," tutur Erlangga. Aku hanya membuat gerakan bibir menyerupai huruf O.
"By the way, lo MaBa fakultas apa?"[1] tanya Erlangga lagi.
"Matematika," sahutku yang sebenarnya pengin banget menanyainya balik, tapi gengsi.
"Geofisika?" tebak Erlangga yang membuatku terkesiap.
"Kok, tahu?" tanyaku dengan tatapan heran.
"Sama, dong," balasnya sambil cengengesan enggak jelas.
Aku menggelengkan kepala. "Dasar absurd," keluhku yang enggak benar-benar mengeluh.
Kata papa, di dunia ini enggak ada yang kebetulan. Semua hal yang terjadi sudah digariskan oleh takdir. Pun dengan setiap orang yang datang dan pergi dalam hidup kita. Mereka memiliki peranannya masing-masing bagi kita, entah untuk mengajarkan atau belajar. Aku meyakini itu, begitu juga dengan pertemuanku dengan Erlangga dan kenyataan bahwa kami satu jurusan dan satu kelompok ketika masa pengenalan kampus. Aku yakin Allah merencanakan sesuatu ketika membuat Erlangga memilih untuk menyapaku di antara banyak mahasiswa baru lainnya.
💜💜💜
Advertisement
- In Serial104 Chapters
His booty call ✔️
Book 1 of HIS seriesCara is tired of being a booty call to the billionaire playboy Quinn. So she comes up with a plan to make him hers. To the outside world Cara is a sweet innocent girl almost pure...No one can guess when the night comes, She's not so innocent. She's the girl that warms the most notorious badboy's bed in the campusCovercredit to @rrosemayaa
8 195 - In Serial35 Chapters
The Bad Boy Hates Me
"You know what I hate about you?" His minty breath fanning my face. He placed his hands on the wall right beside my head. His eyes dance a lot of emotions I couldn't decipher as his gaze moved from my eyes down to my lips.Gulp. "W-What?" I breathed nervously."You reminded me of her," he whispered into my ear, "and I fucking hate it." He pushed himself away from me and slammed the door shut.
8 141 - In Serial33 Chapters
A Silent Lover
Jung TaekWoon, otherwise known as Leo of Vixx, is famous for his chic silence in the world of loud and attention seeking idols. Never the most out-spoken person, being around cameras sends his shy personality into overdrive. It's been almost four years since his debut and he's finally beginning to come out of his shell in public, but it's still something he struggles with in his personal life. So when he sees a beautiful foreign girl in his favorite coffee shop, all he can do is look.Imani Taylor is a woman on a mission and she has a well thought out plan for how her life will go. Step one is expanding her tutoring business into a full scale teaching center. Step two is adopting the little Korean boy who has stolen her heart. And Step three is living happily ever after. Imani is determined to make life work for them in Seoul, and she can't let anything get in her way, even if a darkly handsome man is vying for her attention. With TaekWoon just starting to open up to the world, will a love between himself and a woman dedicated to fighting for what she wants be able to succeed? Or will the past come back to haunt them both?Highest ranking:#1 in Jung TaekWoon🌟🌟🌟🌟 #1 in Vixx🌟🌟🌟 #3 in ambw🔥🔥🔥🔥 #9 in interracial#2 Blackwoman#40 in Kpop#1 blackfemale🔥#1 in bwam#1 in blasian🔥🔥🔥#2 in Asian🔥🔥🔥🔥#2 in African American🔥🔥🔥
8 187 - In Serial18 Chapters
Linger
Whats worse than your worst nightmare coming true. Susan finds her self kidnapped and locked in the crazy yet strangely handsome psychopath house. But what may be is worse is the actual things that run in his mind. What will happen when she starts to fall for a killer. (currently editing)*Photo is not mine*
8 123 - In Serial11 Chapters
Running | (GxG) (Darlentina)
In a world where Darna and Valentina never existed, only a pair named Narda and Regina."Stop running, I've caught you now"
8 120 - In Serial58 Chapters
Stay With Me Always
"I'll never let anyone get close to me. Ever again. I'm never letting anyone break me again."That's what she promised herself but what happens when she meets somebody willing to break those walls and love her with all her flaws? The story is unedited. It may have grammatical mistakes and some spelling mistakes. Ignore them and enjoy the story. This is my third story and is not related to the previous ones.#597- Tragic// 30.11.18#231- Emotions// 4.12.18#224- Emotions// 6.12.18#68- Emotions// 19.06.19
8 111

