《BRAINWASH》6. DEADLOCKED
Advertisement
Aku berjalan tergesa menuju ruang tengah sambil menenteng tas yang hanya muat diisi ponsel, tisu basah, dan dompet. Aku ingin pergi bersama Papa malam ini. Cuma berdua, seperti waktu aku kecil dulu. Biasanya, setelah salat magrib begini, Papa bersantai sejenak di ruang tengah sampai Mama Ambar mengajak makan malam. Sekarang sudah tahu, kan kenapa aku tergesa? Yap! Jangan sampai ajakan Mama Ambar disambut Papa lebih dulu.
Aku terkesiap ketika mendapati ruang tengah yang lengang. Hanya ada ponsel Papa yang tergeletak di atas meja. Dimana Papa? Saat keluar dari kamar, kulihat ruang makan pun kosong. Karena bingung, aku sempat mondar-mandir di ruang tengah. Sempat terpikir untuk mengetuk pintu kamar Papa, tapi ... ah, enggak deh. Aku pun memutuskan mencari Papa di halaman belakang. Saat hendak melewati dapur, aku mendengar suara tawa Papa dari sana. Sepertinya Papa sedang terlibat dalam obrolan yang seru dengan Mama Ambar. Dan benar saja, kulihat mereka sedang memasak bersama. Pemandangan yang menyakitkan dan mengingatkanku akan makan malam pertama di rumah ini.
Aku yang waktu itu memang terlalu rapuh, kini enggak akan lagi. Seperti kata Mama yang meneleponku malam itu, sikap mereka pasti akan selalu menyakitkanku. Karena tujuan mereka memang supaya aku enggak betah di sini. Kalau aku enggak betah, aku akan keluar dari rumah ini dan mereka menang. Mereka merasa menang karena Papa enggak akan lepas dari mereka. Aku bersyukur Mama selalu menguatkanku. Kata Mama juga, balas saja sikap mereka dengan perkataan yang menyadarkan bagaimana Mama Ambar merebut Papa dari kami.
"Papa," panggilku dengan suara yang lantang namun dengan intonasi lembut.
Panggilanku berhasil membuat dua orang itu berhenti dari kegiatannya. Keduanya langsing menatapku.
"Ehh, Maira. Ngapain berdiri di situ? Ayo, sini masuk. Cicipin deh gudeg bikinan Mama Ambar," kata Papa saat melihatku.
Aku menggelengkan kepala, berusaha sekuat mungkin agar enggak terlihat muak. "Lain kali aja, Pa. Sekarang ada yang lebih penting dari itu," sahutku.
Advertisement
"Apa?" tanya Papa dengan raut wajah penuh tanda tanya.
Aku berjalan mendekaf ke arah papa. Dengan manja, aku bergelayut di lengannya dan membawanya menjauh dari mama Ambar. "Kemarin waktu ke sini, Maira belum sempat belanja keperluan kuliah. Pekan depan, kan, Maira udah mulai kuliah. Jadi, Maira mau minta papa temani ke toko buku. Boleh, ya?"
"Wah, kalau ke toko buku, Evalia pasti suka. Gimana kalau kita pergi bersama-sama?" usul papa yang langsung membuat dadaku panas.
Kenapa, sih, setiap hal harus papa sangkut pautkan sama mereka berdua?
Sambil menunduk kukatakan dengan nada pelan, "aku, kan, pengin jalan berdua sama papa. Padahal, kita sudah enggak pernah lagi jalan berdua."
Keadaan dapur tiba-tiba menjadi hening. Baik papa maupun mama Ambar enggak ada yang bersuara. Aku enggak lagi berakting, kok. Aku memang betul-betul sedih sekaligus kecewa dengan ide papa.
"Ya, sudah. Kita malam mingguan berdua ya," kata papa setelah jeda hening yang cukup lama.
Mendengar ucapan papa, aku langsung menegakkan kepala. Dengan mata penuh binar, kutatap papa dan bertanya, "serius, nih?"
Papa berjalan mendekat ke arahku. Dia mengusap puncak kepalaku sambil tersenyum. "Papa ganti baju dulu, ya," katanya.
Mama Ambar mengekori papa ke kamar. Sebelum meninggalkan dapur, mama Ambar melempar senyum padaku. Aku yakin itu senyum menahan kesal karena aku berhasil merebut papa malam ini. Aku enggak peduli, yang penting malam ini waktu papa hanya untukku.
Dari dulu papa memang selalu tampil sederhana, seperti malam ini. Meski kami alan pergi ke pusat perbelanjaan besar di Jogja, papa hanya mengenakan kaos berkerah dengan logo equistrian kecil di dada sebelah kirinya. Kaos itu dipadukan dengan celana jeans biru cerah dan sepatu bertali.
Satu jam mengelilingi toko buku, aku sudah memasukkan semua kebutuhan kuliahku. Setelah memikirkan cara agar menahan papa tetap di sini bersamaku, akhirnya kukatakan saja, "Pa, aku mau nagih janji papa tempo hari, dong."
Advertisement
"Janji apa?" tanya papa setelah menyodorkan kartu master card pada kasor yang menghitung jumlah belanjaanku.
"Papa pernah bilang mau ngajak aku ke angkringan, loh. Aku mau naik sepeda menyala di alun-alun selatan," kataku dengan tataoan penuh harap.
Bukannya menyahut, papa malah menahan tawa sampai wajahnya lucu banget. "Kamu yakin mau naik itu?"
Sebenarnya aku enggak tertarik, sih. Malahan aku malu naik begituan, tapi demi menahan papa malam ini, aku harus melakukannya. Jadi, kuanggukan saja kepalaku untuk menjawab papa.
Sesampainya di Alun-Alun Selatan, kami langsung menuju angkringan nasi kucing. Kami memesan nasi kucing dan wedang ronde.
"Wedang rondenya enak banget. Ini, sih, mama pasti suka," kataku mencoba membuka topik tentang mama.
Papa enggak menyahuti, dia hanya tersenyum. Ahh, rupanya pancinganku kurang menarik minat papa.
"Aku ingat mama pernah cerita, katanya dulu waktu masih sama papa, mama pernah ngambek ke papa gara-gara wedang ronde kesukaan mama dimakan papa, kan?" Semoga saja pertanyaanku kali ini membangkitkan ingatan manis papa dengan mama dulu.
"Ahh, kamu. Itu, kan, cerita dulu. Kami masih muda waktu itu," sahut papa sambil tersenyum tipis.
Duh, kenapa, sih, susah banget bikin papa nostalgia dengan mama?
"Papa tahu enggak, kalau mama kadang suka rindu sama papa?" Kutatap papa yang wajahnya enggak menunjukan keterkejutan maupun ketertarikan. Jadi, kulanjutkan saja kalimatku. "Mama pernah tiga hari berturut-turut masak semur daging kesukaan papa. Aku, Eyang Uti dan Eyang Kung sampai bosen," keluhku.
"Bukan lagi rindu, Mai. Mamamu cuma lagi pengin aja makan itu. Makanya dia masak itu terus," sahut papa dengan nada santai seolah enggak terusik.
"Kalau papa pernah enggak rindu sama mama?"
Sumpah. Sebenarnya aku enggak pengin mengelurkan pertanyaan frontal begini, tapi tanggapan-tanggapan papa bikin aku sebal.
Papa tersenyum teduh. "Apa yang pernah kami lalui adalah bagian dari masalalu. Sekarang, kami sudah memiliki kehidupan masing-masing yang harus dijaga dan dibahagiakan."
Pernyataan papa seolah menorehkan luka lainnya di dalam dadaku. Apa papa benar-benar melupakan mama? Apa mama Ambar dan Evalia sudah membunuh segala rasa yang pernah ada di hati papa untuk mama?
"Loh, kok, kamu malah nangis, Mai?" tanya papa dengan raut khawatir.
Kuusap air mata yang entah sejak kapan meleleh di kedua pipi. Setelah menggeleng, kukatakan saja, "aku kangen mama."
Setelah mengatur napas, kuraih ponsel dari dalam tas. Aku melakukan panggilan video pada mama. Wanita cantik yang melahirkanku menjawab pada dering ke lima. Dari pakaian dan riasan yang ia kenakan, aku yakin banget kalau mama sedng bersama teman-temannya.
"Hai, anak mama yang cantik," sapa mama begitu sambungan video terhubung.
Aku berusaha tersenyum menutupi kesedihan. "Maira kangen sama mama," kataku.
Mama terlihat mengerutkan dahi seolah tengah menilai sesuatu. "Mama juga, Nak," sahut mama pada akhirnya. "Kamu lagi di mana?"
"Aku sama papa lagi di angkringan Alun-Alun Selatan, Ma. Oia, di sini rondenya enak banget, loh, Ma," kataku sambil menunjukan wedang ronde.
"Wah, mama jadi iri, deh. Mama juga mau ronde," sahut Mama.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Dengan cepat kukatakan, "mama bilang aja ke papa."
Papa enggak bisa mengelak waktu dengan cepat kuberikan ponselku padanya. Papa menerima ponselku. Aku kecewa waktu papa terlihat enggan bicara dengan mama. Bahkan papa seperti enggak pengin berlama-lama ngobrol dengan mama.
Apa ini artinya kami sudah kalah dari pelakor? Apa ini artinya papa enggak akan pernah kembali pada kami?
💜💜💜
Advertisement
- In Serial14 Chapters
The Unknown Stalker [Yandere X Female Reader]
Living a normal life, (Y/N) is popular girl around her high school. (Y/N)'s beauty, intelligence and kindness has everyone swooning all over her. But there's one boy who's different, he wants you bad and will do whatever it takes to get you. The stalker is into you, and he'll cherish every bit of you and your body until the end of time. Will you escape him? Or fall?(Will include lemon/smut later on. Will include violence)Highest ranking on: #2 Nudity
8 140 - In Serial52 Chapters
His By Law
I wasn't ever going to belong to Bodin. I wasn't his for the taking!Bodin Charters had been my friend since we were kids. Painfully shy and uncomfortable in crowds.I was always the outgoing one. Willing to fight and shout for what I wanted. But Bodin wanted something now. Me. I had told him he'd not have me countless times over the years. I was waiting for a man who wrote me sonnets and climbed walls to sneak into my chambers.Bodin would never do any of that. He didn't have an unpredictable bone in his body...Until he did.My father was ill and had been for a long time. I didn't know Bodin, who'd inherited the Charter's fortune and property, had persuaded my father to make me his ward upon his deathbed.Now my father is gone.And Bodin is stating I can't be his ward because it'd be improper. I must become his wife. I won't.But as his ward, he has law over me. Law where he can make me do things I don't want to do.And he keeps reminding me, he'll have more sway over me as my husband so I best start learning to obey him.The devil I will.Unfortunately, I'm finding Bodin is a far more clever devil then I expected...
8 198 - In Serial30 Chapters
Heartbreak | ✓
•••❝ she had a place in his heart that he didn't know existed. ❞ •••//short story//( Few words and grand feelings )
8 83 - In Serial105 Chapters
Match
He'd never met someone so kind and friendly, and he didn't know why it made him feel a certain way. He hated it. Hated he couldn't get away from it. Couldn't get away from her. No matter who or what was in the room, his eyes would always find hers, and he'd never settle not knowing where she was.She'd never met someone so cocky and self-centred as him. She hated the way she didn't think he paid attention to her. She hated the way he was the only boy who made her feel something she had never felt before - the presence of a strong man in her life, someone who could guide her. She hated the way he made her feel like the luckiest girl in the world and she wouldn't feel bad for it. Their eyes would always find each other's, no matter the circumstance. If it was a stupid fight, a disagreement, or just simply being away from each other, they'd always feel drawn to one another.But with all their hopes and dreams, comes the difficulties and reality of their lives. Not everything is as perfect as they may seemed.___"Willow, come back!" I heard the frantic voice of my boyfriend as he called for me. But I decided to ignore him and head straight to my favourite shop.Today was Black Friday which meant everything was hell of a lot cheaper, (it also meant I wasn't wasting any time and getting first dibs on everything I saw)."Didn't you hear me calling for you?" Theo clamped his hands down on my shoulders and spun me around, his dark hair falling over his green eyes as he panted. I could feel a smirk break out on my face as he huffed."Whatever. Just next time tell me you're going to start running so I can win. You made me look silly." He rolled his eyes like a child and I snorted, peppering his reddened cheeks with kisses to which he softened up by."I'm sorry." I said in a teasing tone and before I knew it, he was lifting up my chin with his finger and planting a firm but tender kiss down onto my lips. "I love you."
8 78 - In Serial57 Chapters
Haunting Me (A Completed Steamy, Romance)EDITING
Shorter chapters so don't let the amount of chapters keep you from starting this story. Joey Lattire was offered to a man at a young age. Knowing this she was caught off guard when she met and fell deeply in love with Hudson Engle.Joey is free-spirited, beautiful and popular while Hudson becomes Quarterback and they became the sweetest couple in their high school.Hudson came to town at seventeen and swept Joey off her feet but there was one huge problem. A marriage contract. After many years of separation and a huge secret kept from Hudson, can they find their way back to each other as adults?https://www.wattpad.com/677863854Copyright © 2020 by Grace Madden All Rights Reserved.
8 176 - In Serial18 Chapters
Inheritance
After Summer's estranged grandfather's passing, his much beloved lake house in Morgan, Vermont is given to her. The twenty-one year old leaves her old life behind, feeling beckoned back despite her parents begging her to sell the dilapidated family property and forget about Morgan, Vermont all together. Upon moving, it goes without saying that this town is smaller, and stranger than she remembered. Charming-- yes, but an air of secrecy amongst the townspeople sends chills down her spine during an otherwise scorching July. Follow Summer as she learns more about her shrouded family history and ultimately herself. Copyright 2018, Christina LaTorraca, All rights Reserved.
8 98

