《BRAINWASH》25. KEEP SPIRIT
Advertisement
Sambil menatap langit-langit kamar, aku meyakinkan diri bahwa apa yang kulakukan akhir-akhir ini hanya sekadar untuk melancarkan misi besarku. Misi merebut Papa dari mereka. Persetan bagaimana dengan perasaan Papa. Aku yakin Papa tetap bisa bahagia bahkan akan lebih bahagia bila bersamaku dan Mama. Tiba-tiba perkataan Erlangga di kampus tadi terlintas, aku diliputi kembali rasa bimbang. Mana yang harus kuikuti, tetap pada misiku atau membiarkan Papa dengan pilihannya. Aku meringkuk sambil menangis karena bingung. Ada dua hati yang aku jaga. Ada dua hati yang harus kupastikan mereka bahagia. Mama dan Papa harus bahagia. Aku kembali tersedu karena merasa enggak sanggup membuat mereka bahagia. Salah satu pasti ada yang terluka. Jujur saja, harus aku akui itu. Kebahagian Mama bila kami bertiga bersama. Sedangkan kebahagiaan Papa, bila bersama Evalia dan Mama Ambar. Dua kebahagiaan yabg bertolak belakang. Bagaimana aku bisa mewujudkannya? Aku teringat kembali akan perkataan Erlangga untuk beristighfar dan melibatkan Allah. Sambil menangis aku beristighfar dan berdoa agar Allah memilihkan jalan tebaik untukku.
Sebuah pesan dari Mama tiba-tiba masuk saat aku bergumul dengan perasaan gundah, begini isinya:
Mama: Mai, jalankan saja peranmu. Mama ikut. Maksimalkan dulu usahamu, enggak usah mikirin hasil akhirnya. Oke, Sayang? Luv, ya!
Aku enggak segera membalas pesan Mama karena bingung harus menjawab apa. Mau menyerah enggak mungkin, mau jalan terus kok ya udah pesimis begini.
Maira Zanitha G: Aku pesimis, Ma. Aku enggak yakin akan berhasil. Sepertinya Papa lebih bahagia hidup bersama Evalia dan mamanya.
Mama: Siapa yang bilang begitu? Memangnya kamu dengar langsung papamu bilang begitu? Enggak, kan? Itu cuma prasangkamu saja, Sayang. Udah deh, berhenti mikirin yang lain. Cukup fokus dengan tak tik yang kamu susun. Ingat, enggak usah mikirin gimana hasilnya, yang penting berusaha maksimal.
Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan demi menenangkan hati yang semakin bergejolak. Pesan dari Mama memang menenangkan dan menguatkanku. Aku pun kembali meyakinkan diri bila sikap manisku hanya untuk menjebak Mama Ambar dan Evalia.
Tok, tok, tok,
“Maira, Papa mau berangkat.”
Dengan tergesa kuusap air mata yang membasahi pipi, kemudian membuka pintu kamar. Papa berdiri di ambang pintu sudah berpakaian rapi siap berangkat.
Advertisement
“Loh Papa berangkat sekarang?” tanyaku heran. “Enggak makan malam dulu?”
“Nanti Papa makan malam di bandara saja. Sudah dijemput mobil kantor juga.” Papa mengulurkan tangannya.
Kuraih tangan Papa lalu kucium. Setelah itu mengekor Papa yang berjalan ke ruang tengah. Di sana kulihat Evalia sedang bersama koper dan tas kerja Papa. Di dalam hati aku bertanya di mana Mama Ambar, sejak sepulang kuliah tadi aku memang enggak melihatnya. Apa masih di tempat laundry, ya?
“Mama sebentar lagi pulang, Papa titip salam ya. Kalian berdua nurut sama Mama, jangan bandel,” ucap Papa sambil menepuk pipi Evalia dengan lembut lalu mengusap puncak kepalaku dengan lembut juga.
Demi peran yang maksimal, aku menanyakan di mana Mama Ambar agar terkesan perhatian. “Memangnya Tante Ambar ke mana?”
“Belanja sama teman-temannya. Ibu-ibu rumpi kalau belanja gitu kan lama,” gerutu Evalia dengan wajah cemberut. “Lagian, udah tahu Papa mau berangkat malah pergi sama teman-temannya.”
“Kan Papa pergi kali ini karena mendadak, jadi bukan salah Mama. Ini Mama buru-buru pulang sebenarnya, tapi karena Papa sudah dijemput mobil kantor, ya terpaksa Papa cuma bisa titip salam.”
Sedan hitam terparkir dengan mesin menyala saat kami membuka pintu gerbang. Papa mengucap salam sebelum masuk ke dalam mobil yang membawanya ke Bandar Udara Adisucipto. Mama Ambar baru datang sekitar lima belas menit kemudian. Kedua tangannya membawa dua kantong plastik besar berlogo salah satu supermarket besar di kota ini. Aku yang baru dari ruang makan untuk mengambil minum, segera membantu membawa dan meletakkannya di atas meja makan.
“Papa udah lama ya berangkatnya?” tanya Mama Ambar dengan nada kecewa.
“Emm, sekitar lima belas menit yang lalu,” jawabku singkat.
“Nanti deh Tante telepon. Sekarang masak dulu buat makan malam. Udah lapar kan? Makan nasi goreng aja ya biar cepat.”
Aku mengangguk sambil tersenyum menyetujui ide makan malam dari Mama Ambar.
“Evalia mana? Di kamar ya?” tanya Mama Ambar mengeluarkan satu persatu isi dari kantong belanja.
“Iya. Lagi belajar mungkin.” Aku ikut membantu Mama Ambar mengeluarkan isi dari kantong yang aku bawa.
Mama berbelanja kebutuhan memasak, mandi, buah-buahan, dan beberapa camilan. Setelah mengeluarkan semua, kudengar suara spatula yang beradu dengan kuali. Enggak lama, aroma bawang menguat dari dapur. Membuat perut semakin lapar. Aku menghampiri Mama Ambar yang sibuk memasak nasi goreng. Ragu-ragu kuajukan diri untuk membantu.
Advertisement
“Aku, aku bisa bantu apa nih, Tante?”
Mama Ambar terkesiap dengan kemunculanku atau dengan pertanyaanku yang tiba-tiba ingin membantu? Entahlah! Yang jelas Mama Ambar jadi bingung dan tergesa-gesa.
“Emm, nasi gorengnya nanti Tante kasih sosis sama bakso, mau telur dadar juga? Kalau Evalia sih sukanya makan nasi goreng dikasih telur dadar.”
“Boleh,” jawabku singkat.
“Kalau begitu tolong ambilkan tiga butir telur sama daun bawang, ya,” pinta Mama Ambar yang segera kuturuti.
Sementara Mama memasak nasi goreng, aku mengocok telur yang dicampur dengan irisan daun bawang. Selama memasak bersama, obrolan kami mengalir lancar. Mama Ambar menanyakan tentang ketertarikanku dengan kegiatan masak-masak. Kukatakan saja kalau aku jarang membantu memasak karena Yang Uti tipe orang yang enggak suka bila ada yang membantunya di dapur. Mama Ambar ikut bercerita mengenai awal mula kesukaannya akan masak-memasak. Enggak hanya itu, Mama Ambar juga menceritakan beberapa pelanggan laundry, kegemarannya naik gunung saat masih remaja, hingga kebiasaan usil papa. Aku mendengarkan sambil sesekali menimpalinya. Saat nasi goreng sudah matang, Mama Mabar memintaku untuk mencicipinya.
“Enak? Atau ada yang kurang?” tanya Tante Ambar sesaat mulutku sibuk mengunyah sesendok nasi goreng buatannya.
“Hem, sudah enak.” Kuacungkan jempol kepada Tante Ambar. Nasi goreng buatan Tante Ambar memang enak, aku enggak memungkiri itu. Tiba-tiba terlintas ide jebakan untuk Mama Ambar.
“Benar kata Papa, seharusnya Tante jualan makanan juga. Emm, kayak warung tenda gitu. Kan enggak banyak menu makanan yang disediakan.”
Terlukis rasa heran pada wajah Mama Ambar saat kuutarakan ideku itu. Kubilang juga kalau akhir-akhir ini mamaku sering ke Jogja karena sedang ada bisnis membuat pujasera bersama temannya. Aku pun memberi saran Mama Ambar menemui mamaku.
“Eemm gimana ya, Mai.” Mama Ambar terlihat bingung.
“Enggak apa-apa, Tan. Nanti aku bantu Tante ngomong.”
“Enggak usah, ah. Tante nanti bingung bagi waktu antara ngurusin Laundry sama warung tenda.”
“Loh, di Laundry kan sudah ada karyawannya. Emm, di warung tends nanti Tante juga ambil karyawan aja jadi Tante cuma mengawasi kerja mereka.” Agak memaksa aku meminta Mama Ambar untuk mau menemui mamaku.
“Ya, kan Tante masih tanya-tanya dulu. Enggak harus langsung setuju. Emm, apa Tante enggak suka sama mamaku? Jadi enggak mau antar aku?” Khusus dua kalimat tanya terakhir, kuungkapkan dengan nada sedih.
“Bukan, bukan begitu, Mai. Kalau Maira kangen Mama, mau sekalian ketemu, nanti Tante antar. Emm, ngomongin soal pujasera juga.” Mama Ambar mulai kebingungan dan merasa enggak enak hati. Tapi aku enggak peduli.
“Oke, nanti tinggal aku tanya kapan mamaku ke sini. Nanti kita rame-rame ke sananya.” Kutunjukkan senyum terbaikku kepada Mama Ambar, lalu membawa piring saji berbentuk persegi panjang yang berisi penuh nasi goreng ke meja makan.
Kuselesaikan makan malamku dengan cepat. Lalu berpamitan kepada Mama Ambar dan Evalia untuk mengerjakan tugas. Sesampainya di kamar, aku mengirim pesan kepada Papa tentang keinginanku menemui Mama. Kutagih janjinya yang dulu yang ingin pergi bersama-sama antara Mama dan keluarga yang ada di rumah ini. Lewat tengah malam Papa baru membalas bila setuju. Tinggal mengatur waktu bertemu dengan Mama. Pagi, setelah salat subuh kubalas pesan Papa bila aku yang akan membicarakan waktu dan tempat bertemu dengan Mama. Setelah itu ke telepon Mama untuk mengabarkan hal yang membahagiakan ini.
“Halo, Mama!”
“Apa enggak bisa nanti aja teleponnya? Kalau pagi begini Mama kan selalu sibuk,” protes Mama karena kutelepon pada jam sibuknya.
Aku tertawa kecil sebelum menjawab. “Mama, ini penting. Aku punya tak tik baru.”
“Wah, anak Mama sudah semangat lagi aja nih. Kamu keren, Sayang.” Mama menghujaniku dengan pujian.
“Makanya Mama jangan protes dan dengerin dulu, ya.”
Kuceritakan dengan runut perbincanganku semalam dengan Mama Ambar, lalu kukatakan tak tik yang sangat melibatkan Mama itu. Meski Mama hanya ber-hem ringan di ujung telepon, aku yakin kalau Mama pasti paham, setuju, dan bisa menjalankan tak tikku ini dengan baik.
Advertisement
- In Serial88 Chapters
War of Seasons
Dorothea Atlin is the young, apathetic leader of the neutral territory of Sirpo, a chilly land hovering above the continuously warring factions of Sacer and Ghuria, whose devastating magics have ravaged their people and lands time and time again. Following a shocking attack and a cruel deception, Dorothea grows her conscience and takes up arms, using her self-destructive ability to manipulate the flow of time to ensure Sacer’s victory. Her growing understanding of war and the two factions is guided by Iree Nobelis, the determined and enthralling commander of Sacer’s forces, Ariana Kingfisher, a steely swordswoman of mixed Ghurian and Sacerian descent, and Rhys Tamlin, a kind but haunted soldier who goes to challenge Dorothea’s self-imposed celibacy and join her on a mutual journey of healing from the tragic legacies of the Atlin family and wars between the nations. Meanwhile, Dorothea’s only friend and deserter from the Sacerian military, Shark Olyen, returns to their homeland to face the family that disowned them and finds more than they bargained for in meeting Cerid Creed, a noble whose duty to his people clashes with his desires in romance and in life, much like Shark’s did long before. As their developing or preexisting loves and differing convictions on how to achieve peace create rifts between these major players, Dorothea experiences a personal revolution that leads her to fight for what she believes is right, no matter the cost. A slow-burn story that takes time setting up the psychology and motivations of characters for explosive payoff later down the line. Cover by Ben Arisson, who is also a wonderful author on this website!
8 197 - In Serial12 Chapters
GET RHYTHM.
when the blues hit, swing & whirl & twirl to the nextrhythm of our lives with me. 2022 © gronforntid
8 206 - In Serial17 Chapters
Haruhi's Secret (OHSHC Fanfic)
[COMPLETED]Haruhi has been part of the host club for a while now but what happens when Haruhi isn't acting like herself?What if the hosts realize that she's acting differently?Will she tell them the reason why or will she keep it to herself?Find out by reading Haruhi's secret!* possible romances and slight cursingHighest rank:#1 in haruhifujioka 👏👏 10/27/19 - 12/16/19
8 127 - In Serial40 Chapters
Sweet Affection [Affection Series 4] {Completed}
Nothing in the world is sweeter than the affection of your soul mate and nothing in this world is bitter than the same person's ignorance. It is not the rejection, that scares them but it is that affection, they find with their mate, which terrifies them. Affection Series:- 1. Mate's Affection 2. Warrior's Affection 3. Restrained Affection 4. Sweet Affection 5. Devil's Affection
8 230 - In Serial43 Chapters
Path To Restoration (Fighter's Den, #3)
*Warning: LABELLED MATURE. Due to sexual content and graphic language, this book is recommended for readers 17+ in age**CANNOT be read without reading prior novels in series*Nate Hunter; aspiring boxer, brother to five younger sisters, and...stripper. Yeah, you read that right. After his twin sister went through an abusive relationship, Nate fought to restore her honour by starting a chain of nightclubs that hire and help victimized women get back on their feet. It didn't take long for the stripper industry to deem him a knight in shining armour that beckoned damsels in distress. The damsel in his life? A fierce yet gentle woman who doesn't want his help and is more warrior than damsel. She's determined to keep Nate at arms length and ignore the ridiculously hot chemistry that fizzles between them. Now it's up to Nate to convince the woman of his dreams that fairytales still exist and that he wants nothing more than to be her prince. After all, he knows a thing to or two about putting up a fight.Delilah Stevens; aspiring author, voluntary loner, and...pregnant. Yeah, you read that right. Life has been unstable for Delilah since her father walked out on her when she was six years old. It shouldn't be a surprise that the father of her unborn child walked out on her too. The already shy and reserved girl retreats further into her shell until she is convinced that the real world is nothing like the books she reads and writes. Or is it? Delilah is forced to rethink everything she's ever known about finding "the one" when she is suddenly face-to-face with a man straight out of a romance novel who wants her - bad - and resisting his kind eyes and killer grin is no walk in the park. The question of the hour is whether or not the determined boxer will be another villain in her story or the hero that finally gives her a happily ever after.All rights reserved to TheFeveredBookaholic.
8 191 - In Serial95 Chapters
3 Stepbrothers
PUBLISHED ON AMAZON--GET PHYSICAL COPY OR EBOOKALSO AVAILABLE ON BARNES & NOBLEwww.sofiaqholand.comMerchandise also available Tori lived with her dad and little sister. She never expected to have a stepmother, much less a stepbrother. But whats worse is not only one stepbrother, not two either. No three stepbrothers. But it gets worse, the three boys just happen to be the three triplet sport stars of the school. The same three boys that have gone out with nearly all those girls that wear short short skirts. The same three boys that are known as 'The Parris Sport Brothers.' What happens when the four are mixed together and agree not to tell anyone that there brothers? What happens when the four are forced to get to know each other? What happens when they have to learn to live with each other? After all its just one year right. All of them heading to college next year. Just one year right? One hectic year of broken hearts, sibling feuds and bonding, of out of nowhere events. Read the book to find out what happens to Tori.Started 2013Completed 2017Published 2020
8 159

